Langsung ke konten utama

Bercerita Adalah Salah Satu Ungkapan Syukur

Lalu Wiramaharja

Bercerita Adalah Salah Satu Ungkapan Syukur


Sore itu, langit menua dalam semburat jingga yang lembut. Angin berdesir pelan menyusuri celah-celah batang bambu yang menjulang, mengeluarkan suara lirih yang menyerupai bisikan dzikir alam. Di tengah kebun bambu yang sepi, jauh dari riuh kota dan hiruk dunia, aku duduk bersila di atas tikar pandan yang mulai usang, ditemani secangkir teh hangat dan sunyi yang menenangkan.


Di tempat inilah, aku sering mengasingkan diri. Bukan karena membenci keramaian, tetapi karena ingin mendengar suara yang lebih dalam; suara dari dalam diri, dan mungkin, suara-Nya. Dan sore ini, seperti sore-sore yang lalu, aku kembali membuka ruang dalam hati untuk satu hal sederhana: bercerita.


Bercerita, bagiku, bukan sekadar menyusun kisah. Ia adalah cara hati menyampaikan rasa syukur atas segala yang telah Allah izinkan terjadi dalam hidup ini. Dalam suasana sunyi yang hanya ditemani rintik cahaya matahari sore yang menyelinap di antara dedaunan bambu, aku merasa betapa agungnya karunia bisa mengingat.


Setiap kisah yang terucap, tentang luka maupun tawa, tentang kegagalan maupun kemenangan, sejatinya adalah bentuk pengakuan: bahwa aku telah melalui semua itu karena-Nya, dan bersama-Nya. Tak ada kisah yang berdiri sendiri. Semua terjalin dalam takdir yang indah meski tak selalu mudah. Maka bercerita, menjadi zikir yang tak terucap dalam lafaz, tapi mengalir dalam makna.


Aku teringat sebuah kalimat dari seorang guru sufi, “Syukur bukan hanya dengan kata, tetapi dengan menyadari setiap detik yang telah kau lewati adalah hadiah.” Dan cerita—cerita yang jujur dari hati adalah bentuk kesadaran itu. Di dalamnya tersimpan rasa: “Ya Allah, aku pernah jatuh, tapi Kau tak pernah benar-benar membiarkanku sendiri.”


Bayang-bayang sore semakin memanjang, sinar mentari redup berkilau di sela batang bambu, menari pelan bersama angin. Di suasana seperti inilah, bercerita menjadi begitu sakral. Tak ada pendengar, selain diriku sendiri, langit yang terbuka, dan hati yang sedang mengingat kembali jejak-Nya.


Mungkin inilah yang dimaksud oleh para sufi ketika mereka berkata bahwa kesunyian adalah sekolah jiwa. Di tengah alam, dalam dekapan bambu-bambu yang tenang, kita kembali belajar mengenal diri, mengurai perjalanan, dan mengucap syukur dengan cara yang paling halus: bercerita.


Dan bila kau tanya, kepada siapa cerita itu diarahkan? Maka jawabku: kepada-Nya. Lewat untaian kenangan yang dituturkan perlahan, aku sedang berkata, “Ya Allah, aku masih mengingat, dan aku tak ingin lupa betapa besar kasih-Mu.”


Sore itu, di tengah kebun bambu yang menua bersama cahaya senja, aku tidak sedang menulis cerita baru. Aku hanya sedang menyusun syukur dari lembar-lembar kisah lama, yang kini aku sadari: semuanya adalah cara Allah mendidik hatiku.


Dan dalam keheningan yang damai itu, aku tahu, setiap cerita yang aku ucapkan… adalah pujian.


Karena di balik setiap kisah, ada jejak kasih-Nya yang tak pernah hilang. Dan menyadarinya, adalah syukur yang paling dalam.

Malam perlahan turun seperti selimut lembut yang ditarik perlahan dari ujung langit. Sinar terakhir mentari telah lenyap, digantikan kerlip bintang yang malu-malu muncul di balik awan tipis. Di tengah remang cahaya itu, teh di cangkirku tinggal sisa, tapi hangatnya masih bertahan, seperti sisa-sisa pelukan dalam ingatan. Dan aku masih duduk di sana, memeluk diam, sambil terus bercerita—kali ini bukan dengan kata-kata, melainkan dengan hati yang tenang.

Aku menyadari bahwa tidak semua cerita harus diceritakan kepada manusia. Ada kisah-kisah yang terlalu sakral, terlalu dalam, yang hanya layak dibisikkan kepada langit. Ada luka yang sembuh bukan karena dibicarakan, tapi karena dipeluk dalam diam oleh Yang Maha Mendengar. Dan ada kebahagiaan yang begitu murni, hingga bila diucap pun terasa berkurang nilainya, seolah hanya pantas dirayakan dalam sujud dan air mata syukur.

Aku belajar bahwa bercerita bukan hanya soal mengurai peristiwa. Lebih dari itu, ia adalah upaya merajut makna. Dalam setiap kisah, selalu ada pelajaran, dan dalam setiap pelajaran, selalu ada sentuhan kasih Ilahi. Tak peduli seberapa pahit atau manis, jika kita mampu duduk dan merenunginya dalam hening, maka kita sedang menapaki jalan syukur yang hakiki.

Ada masa-masa dalam hidupku yang begitu gelap, hingga aku merasa seperti tersesat di belantara waktu. Tapi kini, saat aku melihat ke belakang, aku mengerti bahwa di setiap gelap itu, ada cahaya kecil yang terus membimbingku—walau aku tidak sadar waktu itu. Dan bercerita tentang masa-masa itu bukan untuk mengungkit luka, tapi untuk bersaksi: bahwa Allah tak pernah menjauh, bahkan saat aku merasa sendirian.

Di antara desir angin malam yang mulai dingin, aku kembali menyusun satu demi satu kenangan. Ada tawa bersama orang-orang tercinta, ada tangis kehilangan, ada perjuangan yang terasa sia-sia, dan ada kejutan-kejutan indah yang datang saat aku nyaris menyerah. Semuanya hadir kembali, bukan untuk menyiksaku, tapi untuk meneguhkan bahwa hidup ini adalah rangkaian pelajaran cinta dari-Nya.

Dan begitulah, setiap kali aku menceritakan kembali jalan hidupku, meski hanya pada bintang dan angin, aku seperti sedang menyalakan pelita di dalam dada. Aku sedang mengingatkan diriku sendiri bahwa aku pernah kuat, karena ada kekuatan yang lebih besar menopangku. Aku pernah lemah, tapi tidak hancur. Aku pernah kehilangan, tapi tak pernah ditinggalkan.

Bercerita menjadi semacam ibadah sunyi. Ia tidak membutuhkan panggung, tidak menuntut tepuk tangan, dan tidak menunggu validasi. Ia cukup untuk diri sendiri—dan untuk Tuhan. Dalam cerita, kita menyusun ulang makna, dan dalam makna, kita menemukan kehadiran-Nya yang sering tersembunyi dalam peristiwa paling sederhana.

Kadang aku berpikir, mungkin inilah sebabnya kenapa para nabi diberi kisah—agar umatnya belajar bukan hanya dari hukum, tapi dari cerita. Karena cerita menyentuh jiwa, menggetarkan nurani, dan membuat manusia merasa dilihat, dipahami, dan tidak sendirian. Begitu juga kita, dalam cerita pribadi kita, ada kemungkinan menjadi pelajaran bagi orang lain, bahkan jika kita tak pernah menyadarinya.

Suatu waktu, aku pernah bercerita kepada seorang sahabat tentang masa-masa sulit yang pernah kualami. Ia terdiam lama, lalu berkata, “Aku tidak tahu bahwa kau pernah mengalami itu. Tapi sekarang aku tahu, dan aku merasa tidak sendirian lagi.” Sejak saat itu, aku mengerti, bahwa terkadang syukur bisa menular lewat cerita. Kita tidak sedang menggurui, kita hanya berbagi perjalanan—dan siapa tahu, dari sana tumbuh harapan.

Malam semakin larut, dan langit sepenuhnya hitam, dihiasi cahaya bulan yang menggantung malu-malu di antara kelopak awan. Kebun bambu mulai hening sepenuhnya, hanya suara alam yang tersisa, seperti denting lembut dzikir semesta. Aku pun mulai beranjak, menggulung tikar, menyesap sisa teh yang kini dingin, lalu menatap langit sekali lagi sebelum melangkah pergi.

Namun hatiku tak benar-benar pergi dari tempat itu. Sebagian diriku tertinggal, menyatu dengan angin dan tanah, menjadi bagian dari cerita yang kututurkan malam ini. Dan aku tahu, esok atau lusa, aku akan kembali. Bukan karena aku sedang mencari jawaban, tapi karena aku ingin terus bersyukur. Lewat cerita, lewat keheningan, lewat mengingat.

Karena bercerita adalah caraku berdoa.

Dan selama masih ada detak di dada, selama masih bisa mengenang, aku akan terus menyusun kata—bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tapi untuk merayakan bahwa aku masih diizinkan menjalani hidup ini. Masih diizinkan bersyukur, dalam bentuk paling sederhana: sebuah cerita.

Postingan populer dari blog ini

Belajar Menerima dan Memahami Keadaan

Belajar Menerima dan Memahami Keadaan Dalam kehidupan, kita tidak selalu berjalan di jalan yang mulus. Terkadang, apa yang kita rencanakan jauh dari kenyataan. Kita berharap sesuatu terjadi, tapi justru yang datang sebaliknya. Kita berusaha keras, namun hasilnya tidak seperti yang diinginkan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya adalah belajar menerima dan memahami keadaan. Dalam pandangan tasawuf , hidup bukan sekadar tentang mencapai sesuatu, tapi lebih dalam dari itu: tentang menyadari bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari takdir Allah. Menerima bukan berarti menyerah. Menerima adalah bentuk tertinggi dari keikhlasan, yaitu saat hati kita pasrah tanpa kehilangan semangat. Ini adalah latihan jiwa, bagaimana kita bisa tetap tenang meski badai datang silih berganti. Ketika kita belajar menerima, kita tidak sedang melemahkan diri. Justru di situlah kekuatan sejati muncul. Kita berhenti memaksakan apa yang tidak bisa dikendalikan, dan mulai berserah pada Sang Pengen...

Memahami Diri Dalam Cintanya

Memahami Diri dalam Cinta-Nya: Satu Jalan Mengenal-Nya Ada perjalanan yang tidak memerlukan kaki, tidak juga kendaraan. Perjalanan itu tidak terlihat, tapi sangat menentukan arah hidup: itulah perjalanan ke dalam diri sendiri. Seringkali kita sibuk mengurus hal-hal di luar diri, mencari pengakuan, mengejar pencapaian, berharap kepada manusia, dan takut kehilangan dunia. Tapi jarang kita menyempatkan diri untuk duduk diam, menoleh ke dalam, dan benar-benar bertanya:  Siapa aku sebenarnya? Apa yang sedang aku cari? Mengapa aku merasa kosong meski terlihat penuh? Dalam ajaran tasawuf, manusia diajak untuk menyadari bahwa kehidupan ini bukan sekadar tentang dunia yang tampak. Di balik tubuh dan pikiran, ada ruh yang membawa cahaya Ilahi. Namun cahaya itu tak akan bersinar selama diri kita dipenuhi kabut kesombongan, kecemasan, dan hasrat yang tak pernah cukup. Memahami diri sendiri bukan berarti mencari semua jawaban dalam sekejap. Tapi itu adalah proses mengenali lapisan demi ...

Sabarlah, Jangan Campuri Urusan Tuhan

Sabarlah, Jangan Campuri Urusan Tuhan (Renungan sederhana untuk hati yang sedang lelah) Aku tahu, tak mudah untuk tetap sabar ketika semua terasa berat. Tak mudah untuk diam dan percaya, saat doa-doamu terasa menggantung di langit, tak kunjung turun sebagai jawaban. Kau sudah menunggu, berharap, bahkan menangis dalam sepertiga malam, tapi yang datang justru ujian yang lebih besar, luka yang makin dalam, dan sunyi yang lebih pekat. Lalu dalam lirih batinmu, timbul tanya, “Ya Allah… di mana Engkau? Mengapa Kau diam?” Saat itulah, suara halus dari dalam jiwa menyapa, bukan dengan marah, tapi dengan kelembutan penuh cinta: “Sabarlah… jangan campuri urusan Tuhan.” Sebab seringkali, tanpa sadar, kita ingin menjadi sutradara atas hidup kita sendiri. Kita ingin jalan cerita sesuai naskah yang kita tulis, lupa bahwa kehidupan ini milik Tuhan, dan kita hanyalah hamba yang sedang menjalani peran. Kita ingin segera dipulihkan, padahal bisa jadi luka itu masih perlu waktu untuk menjadi cahaya. Kita...